Sabtu, 07 Januari 2017

EBIET G. ADE


Nama lahir : Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far

Lahirr : 21 April 1954 (umur 62)
Wanadadi, Banjarnegara, Indonesia

Pekerjaan: Penyanyi
Tahun aktif1979 - sekarang

Istri : Koespudji Rahayu Sugianto
Anak :
1. Abietyasakti "Abie" Ksatria Kinasih
2. Aderaprabu "Dera" Lantip Trengginas
3. Byatriasa "Yayas" Pakarti Linuwih
4. Segara "Dega" Banyu Bening
Orang tua
Ayah : Aboe Dja'far
Ibu : Saodah

Situs webhttp://www.ebietgade.com/

Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far atau lebih dikenal dengan nama
Ebiet G. Ade (lahir di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah,
21 April 1954; umur 62 tahun)
Adalah seorang penyanyi dan penulis lagu
berkewarganegaraan Indonesia. Ebiet dikenal dengan lagu
lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok
tersisih.

Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal
kariernya, ia memotret suasana kehidupan Indonesia pada
akhir tahun 1970-an hingga sekarang.
Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta, tetap ada
juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana,
religius, keluarga, dll.

Sentuhan musiknya sempat mendorong pembaruan pada
dunia musik pop Indonesia. 
Semua lagu ditulisnya sendiri,
tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain,
kecuali lagu Surat dari Desa yang ditulis oleh Oding Arnaldi
dan Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama
dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kehidupan pribadi :
Terlahir dengan nama Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far di
Wanadadi, Banjarnegara, merupakan anak termuda dari 6
bersaudara,
anak Aboe Dja'far, seorang PNS, dan Saodah, seorang
pedagang kain. Dulu ia memendam banyak cita-cita, seperti
insinyur, dokter, pelukis.
Semuanya melenceng, Ebiet malah jadi penyanyi—kendati ia
lebih suka disebut penyair karena latar belakangnya di dunia
seni yang berawal dari kepenyairan.

Setelah lulus SD, Ebiet masuk PGAN (Pendidikan Guru
Agama Negeri) Banjarnegara.
Sayangnya ia tidak betah sehingga pindah ke Yogyakarta.
Sekolah di SMP Muhammadiyah 3 dan
melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sana
ia aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia).
Namun, ia tidak dapat melanjutkan kuliah ke Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada karena ketiadaan biaya.
Ia lebih memilih bergabung dengan grup vokal ketika
ayahnya yang pensiunan memberinya opsi: Ebiet masuk FE
UGM atau kakaknya yang baru ujian lulus jadi sarjana di
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Nama Ebiet didapatnya dari pengalamannya kursus bahasa
Inggris semasa SMA.
Gurunya orang asing, biasa memanggilnya Ebiet, mungkin
karena mereka mengucapkan A menjadi E.
Terinspirasi dari tulisan Ebiet di bagian punggung kaus
merahnya, lama-lama ia lebih sering dipanggil Ebiet oleh
teman-temannya.
Nama ayahnya digunakan sebagai nama belakang, disingkat
AD, kemudian ditulis Ade, sesuai bunyi penyebutannya,
Ebiet G. Ade. Kalau dipanjangkan,
ditulis sebagai Ebiet Ghoffar Aboe Dja'far.

Sering keluyuran tidak keruan, dulu Ebiet akrab dengan
lingkungan seniman muda Yogyakarta pada tahun 1971.
Tampaknya, lingkungan inilah yang membentuk persiapan
Ebiet untuk mengorbit.
Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas
penciptaan karya-karyanya adalah
ketika bersahabat dengan :
Emha Ainun Nadjib (penyair),
Eko Tunas (cerpenis), dan
E.H. Kartanegara (penulis).
Malioboro menjadi semacam rumah bagi Ebiet ketika kiprah
kepenyairannya diolah, karena pada masa itu banyak
seniman yang berkumpul di sana.

Meski bisa membuat puisi, ia mengaku tidak bisa apabila
diminta sekadar mendeklamasikan puisi.
Dari ketidakmampuannya membaca puisi secara langsung
itu, Ebiet mencari cara agar tetap bisa membaca puisi
dengan cara yang lain, tanpa harus berdeklamasi.
Caranya, dengan menggunakan musik.
Musikalisasi puisi, begitu istilah yang digunakan dalam
lingkungan kepenyairan, seperti yang banyak dilakukannya
pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono.
Beberapa puisi Emha bahkan sering dilantunkan Ebiet
dengan petikan gitarnya.

Walaupun begitu, ketika masuk dapur rekaman, tidak sebiji
pun syair Emha yang ikut dinyanyikannya.
Hal itu terjadi karena ia pernah diledek teman-temannya
agar membuat lagu dari puisinya sendiri.
Pacuan semangat dari teman-temannya ini melecut Ebiet
untuk melagukan puisi-puisinya.

Karier :
Ebiet pertama kali belajar gitar dari kakaknya, Ahmad
Mukhodam, lalu belajar gitar di Yogyakarta dengan Kusbini.
Semula ia hanya menyanyi dengan menggelar pentas seni di
Senisono, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta dan juga
di Jawa Tengah,
memusikalisasikan puisi-puisi karya Emily Dickinson,
Nobody, dan mendapat tanggapan positif dari pemirsanya.
Walau begitu ia masih menganggap kegiataannya ini
sebagai hobi belaka.

Namun atas dorongan para sahabat dekatnya dari PSK
(Persada Studi Klub yang didirikan oleh Umbu Landu
Paranggi) dan juga temannya satu kos, akhirnya Ebiet
bersedia juga maju ke dunia belantika musik Nusantara.
Setelah berkali-kali ditolak di berbagai perusahaan rekam,
akhirnya ia diterima di Jackson Record pada tahun 1979.

Jika semula Ebiet enggan meninggalkan pondokannya yang
tidak jauh dari pondok keraton, maka fakta telah menunjuk
jalan lurus baginya ke Jakarta.
Ia melalui rekaman demi rekaman dengan sukses. Sempat
juga ia melakukan rekaman di Filipina untuk mencapai hasil
yang lebih baik, yakni album Camellia III.
Tetapi, ia menolak merekam lagu-lagunya dalam
bahasa Jepang, ketika ia mendapat kesempatan tampil di
depan publik di sana.
Pernah juga ia melakukan rekaman di Capitol Records,
Amerika Serikat, untuk album ke-8-nya Zaman.
Ia menyertakan Addie M.S. dan Dodo Zakaria
sebagai rekan yang membantu musiknya.
Lagu-lagunya menjadi trend baru dalam
khasana musik pop Indonesia.

Tak heran, Ebiet sempat merajai dunia musik pop Indonesia
di kisaran tahun 1979-1983.
Sekitar 7 tahun Ebiet mengerjakan rekaman
di Jackson Record. Pada tahun 1986, perusahaan rekam
yang melambungkan namanya itu tutup dan
Ebiet terpaksa keluar.
Ia sempat mendirikan perusahaan rekam sendiri
EGA Records, yang memproduksi 3 album,
Menjaring Matahari,
Sketsa Rembulan Emas,
dan Seraut Wajah.
Sayang, pada tahun 1990,
Ebiet yang "gelisah" dengan Indonesia,
akhirnya memilih "bertapa" dari hingar bingar
indutri musik dan memilih berdiri di pinggiran saja.

Baru pada tahun 1995 ia mengeluarkan
album Kupu-Kupu Kertas didukung oleh
Ian Antono, Billy J. Budiardjo (alm),
Purwacaraka, dan
Erwin Gutawa
dan Cinta Sebening Embun didukung oleh
Adi Adrian dari KLa Project.
Pada tahun 1996 ia mengeluarkan album
Aku Ingin Pulang didukung oleh
Purwacaraka dan
Embong Rahardjo.
Dua tahun berikutnya ia mengeluarkan album
Gamelan yang memuat 5 lagu lama yang
diaransemen ulang dengan musik gamelan oleh
Dwiki Darmawan
dan Kiwir.
Pada tahun 2000 Ebiet mengeluarkan album
Balada Sinetron Cinta dan
tahun 2001 ia mengeluarkan album
Bahasa Langit, yang didukung oleh
Andi Rianto ,
Erwin Gutawa ,
dan Tohpati.
Setelah album itu, Ebiet mulai lagi menyepi
selama 5 tahun ke depan.
Ebiet adalah salah satu penyanyi yang mendukung
album Kita Untuk Mereka,
sebuah album yang dikeluarkan berkaitan dengan
terjadinya tsunami 2004,
bersama dengan 57 musisi lainnya.
Ia memang seorang penyanyi yang terilhami oleh
alam,
sosial,
ketuhanan dan
kemanusiaan
sehingga wajar ada beberapa lagunya yang terinspirasi
oleh bencana alam, sehingga lagu-lagunya
sering menjadi tema bencana.

Pada tahun 2007,
ia mengeluarkan album baru
berjudul In Love: 25th Anniversary didukung
oleh Anto Hoed , setelah 5 tahun absen rekaman.
Album itu sendiri adalah peringatan buat ulang tahun
pernikahan ke-25-nya, bersama pula 13 lagu lain yang
masih dalam aransemen lama.
Kemunculan kembali Ebiet pada 28 September 2008
dalam acara Zona 80 di Metro TV
cukup menjadi obat bagi para penggemarnya.
Dengan dihadiri para sahabat di antaranya Eko Tunas,
Ebiet G Ade membawakan lagu lama yang pernah
popular pada dekade 80-an.

Baca Selengkapnya di  Wikipedia Ebiet G. Ade

Lagu Ebiet G. Ade yang aku suka
1. Berita Kepada Kawan - Ebiet G. Ade
2. Masih Ada Waktu - Ebiet G. Ade
3. Untuk Kita Renungkan - Ebiet G. Ade

Tidak ada komentar:

Posting Komentar